Aku berjalan menyusuri gang panjang dan berliku dari rumah tuaku menuju jalan raya, hendak menemui seseorang dari masa lalu. Sebenarnya bukan hendak menemui tapi hanya sekedar lewat depan toko keluarganya yang di pinggir jalan raya untuk melihat dia sedang menjaga toko atau tidak. Namun orang yang dimaksud tak ada di tempat rupanya. Kecewa aku tak melihat wajah pujaan hati. Padahal liburan sudah hampir usai. Sepertinya aku tak akan lihat wajahnya lagi untuk beberapa bulan ke depan. Kuliah padat menantiku di Bogor. Jadi aku meneruskan jalanku. Berhenti sejenak, berpikir mau kemana aku sekarang. Kulihat ke belakang ke jalan menuju stasiun kereta. Stasiun satu-satunya yang masih beroperasi di kota asalku ini, Stasiun Leles.
Di sepanjang jalan aku melihat kiri kanan. Tak banyak berubah. Masih ada tukang cukur yang dulu pernah beberapa kali kupotong rambut di sana. Masih ada toko yang sering kubeli arang di situ. Aku ingat ibu gendut yang menjaga toko, tapi tak kulihat dia hari ini. Kulangkahkan kakiku terus ke depan. Beberapa meter di depanku stasiun yang kutuju. Tepat di sebelah kananku sekarang adalah kantor pos tua. Aku ingat beberapa kali aku pernah mengirim surat dan menabung juga di kantor pos ini.
Aku tak jadi masuk stasiun. Gerbang belakang dikunci dan malas juga masuk lewat gerbang depan karena ramai anak-anak bermain di situ. Rupanya ada yang berubah. Sekarang sudah ada tempat penumpang menunggu kereta yang dibuat dari semen yang tingginya disesuaikan dengan tinggi pintu kereta sehingga orang tak perlu bersusah payah jika ingin naik kereta. Aku ingat betapa susahnya dulu jika ingin menaiki kereta. Butuh orang lain untuk membantu naik.
Tak jadi ke stasiun, aku belokan saja diriku ke arah rel kereta. Sudah lama sekali aku tak berjalan di atas batu-batu koral rel kereta api. Hujan baru reda jadi jalanan agak becek ditambah lagi sandal capit tipisku yang membuat air genangan merembes dan membuat batu koralnya terasa sekali ditelapak kaki bahkan sedikit agak sakit. Namun rasa sakitnya terbayar oleh kenangan masa kecil yang kembali memenuhi kepalaku. Ternyata perjalanan tanpa rencana memang lebih menarik dan berkesan.
Stasiun dan rel kereta api merupakan salah satu tempat bermain favoritku dulu waktu kecil. Bermain perosotan di dekat stasiun atau menangkap capung yang menempel di kawat baja di samping rel kereta. Capung ditangkap dengan cara dijepit menggunakan kawat baja, sebelah kiri atau kanan kawat baja yang dihinggapi capung. Aku cukup ahli melakukannya.
Pandanganku dimanjakan oleh hamparan sawah hijau membentang luas di sebelah kiriku. Gunung menjulang tinggi di kejauhan. Sejauh mata memandang semuanya hijau. Kuhirup udara sore sebanyak yang aku bisa. Udaranya bersih dan segar. Rasanya tak ingin kembali ke kota dimana udara bersih sangat langka dan warna hijau seringnya hanya didapat dari warna angkot (angkutan umum) nomor 02 atau 03.
Aku berjalan pelan-pelan karena tak ingin cepat sampai di gapura pintu masuk kampungku RT 03 yang tinggal beberapa meter di depan. Nampak di depanku sekarang adalah beberapa pemuda dari kampungku yang sedang memancing belut di sawah entah punya siapa. Ada seorang yang bermain gitar di undakan semen di sebelah sawah. Setelah kuamati ternyata dia tetanggaku yang seumuran denganku. Karena tak begitu akrab, jadi aku tetap berdiri jauh dari mereka sambil terus menonton pertunjukan. Aku jadi ingat bahwa seumur hidup aku belum pernah memancing belut. Aku juga tak pernah berniat melakukannya.
Sudah cukup lama aku mengamati mereka. Beberapa orang melihat kepadaku namun tak ada yang menyapa. Aku memang tak akrab dengan orang-orang ini walaupun aku tahu nama mereka satu per satu. Rasanya sudah cukup tamasyaku mengenang masa kecil. Aku berjalan menuju gapura.
Di depanku ada seorang gadis yang sepertinya kukenal. Dia berjalan ke arahku, semakin mendekat. Tentu saja, dia teman SMP-ku dan teman mengajiku dulu. Aku tahu dia melihat kepadaku namun dia langsung menoleh ke arah lain, mengamati sesuatu yang kutahu itu tak ada. Sambil berjalan aku melihatnya terus namun dia tetap melihat ke arah lain. Dia memang tak ingin atau mungkin sedang malas menyapaku. Padahal beberapa bulan lalu kami berpapasan, kami saling menyapa seperti biasa.
Aku berbelok ke kiri. Seperti sudah direncanakan, di depan berjalan ke arahku adalah guru ngajiku. Bapak Jenal Muttaqin, aku ingat betul namanya. Aku semakin dekat ke arahnya aku sudah bersiap tersenyum untuk menyapanya. Namun dia malah berbelok ke kiri padahal aku merasa dia melihatku berjalan ke arahnya. Dia berbelok masuk ke rumah salah satu tetangga. Aku mulai penasaran kenapa dengan semua orang di kampungku ini.
Apakah dunia ini telah berubah? Apakah bertegur sapa adalah hal sulit untuk dilakukan sekarang ini? Mereka semua berubah! Atau mereka tak melihatku? Apa aku tak terlihat?
Aku memutuskan akan memastikannya dengan bercermin di kaca gerobak bakso tetangga yang terletak beberapa langkah lagi di depan. Sayang sekali, ternyata gerobak basonya sudah tak berada disitu lagi. Sepertinya krisis ekonomi tak berpihak pada usahanya jualan bakso. Kupikir lagi, bodoh sekali rasanya jika aku harus bercermin di kaca gerobak bakso untuk melihat bayanganku ada atau tidak. Aku tersenyum malu dengan ide bodohku itu.
Rumahku sudah dekat, tinggal beberapa meter lagi. Tamasya singkatku mengelilingi kampung cukup melelahkan namun lebih banyak kesenangannya. Lima belas menit hidupku aku isi dengan kenangan-kenangan indah masa lalu yang tak bisa kubeli di toserba manapun. Agak berat kulangkahkan kaki ini menuju rumahku sendiri. Enggan pulang, inginnya aku terus bertamasya di duniaku yang tak kenal duka, dunia masa kecilku.
Namun tetap saja kuseret kaki ini menuju rumah. Akhirnya teras lantai dua rumahku sudah terlihat, lantai satunya terhalang oleh tembok tinggi rumah tetangga. Beberapa langkah lagi aku tiba. Kembali ke rumah atau tepatnya kembali ke kenyataan hidup, masalah di depan mata.
“Dari mana saja?!”
Seorang tetangga dari arah belakangku bertanya, agak berteriak. Aku menoleh, ternyata Pak Jaja.
“Pulang tamasya, Pak Jaja. Biasa saja dong gak perlu teriak.”
Aku sedikit kesal dengan tetanggaku ini. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba menghardikku begitu saja.
“Gimana sih kamu ini, Sep! Semua orang nunggu dari tadi! Harus cepat diurus ini.”
Sep? Siapa maksudnya?
Aku menengok ke belakang, ke arah pandangan Pak Jaja tertuju. Oh! Pak Jaja ternyata bukan bicara padaku, tapi orang yang ada agak jauh di belakangku, si Asep, anak Pak Jenal guru ngajiku itu. Asep setengah berlari menghampiri orang yang meneriakinya barusan.
Pak Jaja juga berjalan menghampiri Asep. Kenapa semua orang begitu panik? Asep pun berusaha mengatur napasnya yang tersengal-sengal untuk mencoba menjawab kekesalan Pak Jaja.
“Maaf Pak Jaja! Tadi kunci mesjidnya lupa naruhnya di mana.”
“Kamu ini! Bapak kamu sudah dikasih tahu? Semuanya sudah siap?”
“Sudah, sudah! Bapak sudah saya beri tahu. Sekarang Bapak lagi ke rumah Pak Endi, pinjam selang. Nah! Itu Bapak bawa selang.”
Aku dan Pak Jaja menoleh ke belakang bersamaan. Pak Jenal berjalan tergesa-gesa ke arah kami.
“Sudah siap kan semuanya?”
“Sudah Pak!” Asep dan Pak Jaja menjawab serentak.
Pak Jenal melihat ke arahku dengan pandangan aneh. Aku tak memperdulikannya dan juga tak menyapanya. Aku masih tersinggung karena diabaikannya tadi saat berpapasan di depan rumah Pak Endi. Mereka bertiga sekarang kompak meninggalkanku begitu saja, pergi ke arah rumahku yang bagian depan. Lalu masuk ke dalam rumah. Mereka masuk ke dalam rumahku?Mau apa mereka?
Aku mengikuti mereka dengan tergesa. Aku lihat di ruang tamu banyak orang berkerumun. Banyak diantaranya yang mengenakan pakaian hitam. Entah kenapa perasaanku tak enak. Dan entah kenapa pikiranku hanya tertuju pada satu orang, bapakku.
Na’udzubillahimindaliq. Dalam hati aku berucap beribu kali. Bapak sudah renta, sudah sering sakit-sakitan. Ketakutanku selama ini adalah jika Allah memutuskan sudah saatnya bagi Bapak beristirahat dari segala lelah deritanya.
Aku takut. Aku tak berani masuk. Aku menunggu cukup lama di luar rumah, tak berani masuk. Orang-orang berbaju hitam makin banyak menghampiri rumahku. Air mataku meleleh. Kenapa harus sekarang ya Allah? Impianku untuk mengajak Bapak saat wisudaku tak bisakah Engkau kabulkan?
Astagfirullah. Aku beristigfar sebanyak aku bisa karena tak selayaknya aku meragukan kemampuan Dia Sang Maha Kuasa. Cukup! Aku membentak diriku sendiri. Aku akan masuk ke dalam rumah.
Di depan pintu ruang tamu aku melihat sosok kaku, terbujur mati di depan mataku. Aku tak tahan lagi menahan tangis. Semua mata pelayat tertuju pada mayat bisu di tengah ruang tamu. Tak sedikit di antara mereka yang menunduk terisak.
Aku berjalan lemas mendekati jenazah bapakku. Semua orang tak ada yang menegur atau sekedar menepuk-nepuk pundakku sebagai tanda empati. Semua sibuk dengan kesedihan masing-masing. Aku teringat ibuku. Sekarang Bapak sudah kembali bertemu dengan kekasih sejatinya, pikirku. Aku duduk di sebelah jenazah Bapak. Tak sanggup aku menyibak kain penutup wajahnya.
Seorang lagi pelayat datang histeris. Ternyata bibiku, adik dari Bapak. Dia menghampiri Bapak lalu duduk lama menunduk, mencoba menghentikan tangisnya. Dia tak melihatku atau entah bagaimana, tapi aku mulai merasa aneh dengan seluruh penghuni ruang tamu ini. Apa kalian tak memperdulikanku?!
Akhirnya dia gerakkan tangannya, menyibak penutup wajah yang enggan kubuka tadi perlahan. Aku menunduk tak mau melihat.
“Rizal! Rizal!” Bibiku meraung memanggil namaku.
Aku mengangkat kepalaku ingin menjawab panggilan bibiku. Namun tak ada daya untuk mengucapkan sepatah kata, setelah kulihat wajah jenazah di hadapanku ini. Wajahku sendiri.
Apa ini? Apa maksud semua ini? Tuhan mempermainkanku? Aku harus segera bangun dari mimpi ini. Aku tak suka mimpi seperti ini.
Aku coba menarik diriku dari alam mimpi dengan memejamkan mata sekuat tenaga sambil memerintahkan otakku untuk membangunkan ragaku.
Bangun! Bangun! Bangun! Bangun!
Kubuka mataku. Tak ada foto yang biasa kulihat di depanku, jika aku bangun tidur. Foto yang kupasang di dinding, tepat di hadapan ranjangku. Fotoku dan kedua orang tuaku. Alih-alih foto itu, wajah pucat pasi yang kulihat dihadapanku. Wajah jenazahku.
“Rizal! Rizal!” Bibiku meraung semakin keras.
Seorang pelayat menenangkannya dan menyeretnya mundur dari jasadku.
“Dimana Kang Ipul?” Sekarang Bibi menanyakan keberadaan bapakku.
“Di kamar. Dari tadi tak sadarkan diri. Bi Nana yang menjaga.”
Pantas tak kulihat dimana Bapak. Orang yang kukira sudah tak ada sekarang tak jauh beda keadaannya denganku. Sedang tak sadarkan diri, bedanya aku tak akan pernah sadar kembali.
Aku melihat wajahku kembali. Entah mengapa aku merasa melihat wajah penuh kedamaian. Kedamaian yang kurasakan terakhir kali sebelum aku mati. Aku teringat tamasya singkatku berkeliling kampung beberapa saat tadi. Andai saja gerobak bakso itu ada. Setidaknya aku akan tahu lebih cepat. Lucu. Aku tersenyum menertawakan diriku sendiri.
Kini aku tahu. Tak ada yang berubah. Mereka tak berubah. Akulah yang berubah.