Tamasya sebelum pulang

Aku berjalan menyusuri gang panjang dan berliku dari rumah tuaku menuju jalan raya, hendak menemui seseorang dari masa lalu. Sebenarnya bukan hendak menemui tapi hanya sekedar lewat depan toko keluarganya yang di pinggir jalan raya untuk melihat dia sedang menjaga toko atau tidak. Namun orang yang dimaksud tak ada di tempat rupanya. Kecewa aku tak melihat wajah pujaan hati. Padahal liburan sudah hampir usai. Sepertinya aku tak akan lihat wajahnya lagi untuk beberapa bulan ke depan. Kuliah padat menantiku di Bogor. Jadi aku meneruskan jalanku. Berhenti sejenak, berpikir mau kemana aku sekarang. Kulihat ke belakang ke jalan menuju stasiun kereta. Stasiun satu-satunya yang masih beroperasi di kota asalku ini, Stasiun Leles.

Di sepanjang jalan aku melihat kiri kanan. Tak banyak berubah. Masih ada tukang cukur yang dulu pernah beberapa kali kupotong rambut di sana. Masih ada toko yang sering kubeli arang di situ. Aku ingat ibu gendut yang menjaga toko, tapi tak kulihat dia hari ini. Kulangkahkan kakiku terus ke depan. Beberapa meter di depanku stasiun yang kutuju. Tepat di sebelah kananku sekarang adalah kantor pos tua. Aku ingat beberapa kali aku pernah mengirim surat dan menabung juga di kantor pos ini.

Aku tak jadi masuk stasiun. Gerbang belakang dikunci dan malas juga masuk lewat gerbang depan karena ramai anak-anak bermain di situ. Rupanya ada yang berubah. Sekarang sudah ada tempat penumpang menunggu kereta yang dibuat dari semen yang tingginya disesuaikan dengan tinggi pintu kereta sehingga orang tak perlu bersusah payah jika ingin naik kereta. Aku ingat betapa susahnya dulu jika ingin menaiki kereta. Butuh orang lain untuk membantu naik.

Tak jadi ke stasiun, aku belokan saja diriku ke arah rel kereta. Sudah lama sekali aku tak berjalan di atas batu-batu koral rel kereta api. Hujan baru reda jadi jalanan agak becek ditambah lagi sandal capit tipisku yang membuat air genangan merembes dan membuat batu koralnya terasa sekali ditelapak kaki bahkan sedikit agak sakit. Namun rasa sakitnya terbayar oleh kenangan masa kecil yang kembali memenuhi kepalaku. Ternyata perjalanan tanpa rencana memang lebih menarik dan berkesan.

Stasiun dan rel kereta api merupakan salah satu tempat bermain favoritku dulu waktu kecil. Bermain perosotan di dekat stasiun atau menangkap capung yang menempel di kawat baja di samping rel kereta. Capung ditangkap dengan cara dijepit menggunakan kawat baja, sebelah kiri atau kanan kawat baja yang dihinggapi capung. Aku cukup ahli melakukannya.

Pandanganku dimanjakan oleh hamparan sawah hijau membentang luas di sebelah kiriku. Gunung menjulang tinggi di kejauhan. Sejauh mata memandang semuanya hijau. Kuhirup udara sore sebanyak yang aku bisa. Udaranya bersih dan segar. Rasanya tak ingin kembali ke kota dimana udara bersih sangat langka dan warna hijau seringnya hanya didapat dari warna angkot (angkutan umum) nomor 02 atau 03.

Aku berjalan pelan-pelan karena tak ingin cepat sampai di gapura pintu masuk kampungku RT 03 yang tinggal beberapa meter di depan. Nampak di depanku sekarang adalah beberapa pemuda dari kampungku yang sedang memancing belut di sawah entah punya siapa. Ada seorang yang bermain gitar di undakan semen di sebelah sawah. Setelah kuamati ternyata dia tetanggaku yang seumuran denganku. Karena tak begitu akrab, jadi aku tetap berdiri jauh dari mereka sambil terus menonton pertunjukan. Aku jadi ingat bahwa seumur hidup aku belum pernah memancing belut. Aku juga tak pernah berniat melakukannya.

Sudah cukup lama aku mengamati mereka. Beberapa orang melihat kepadaku namun tak ada yang menyapa. Aku memang tak akrab dengan orang-orang ini walaupun aku tahu nama mereka satu per satu. Rasanya sudah cukup tamasyaku mengenang masa kecil. Aku berjalan menuju gapura.

Di depanku ada seorang gadis yang sepertinya kukenal. Dia berjalan ke arahku, semakin mendekat. Tentu saja, dia teman SMP-ku dan teman mengajiku dulu. Aku tahu dia melihat kepadaku namun dia langsung menoleh ke arah lain, mengamati sesuatu yang kutahu itu tak ada. Sambil berjalan aku melihatnya terus namun dia tetap melihat ke arah lain. Dia memang tak ingin atau mungkin sedang malas menyapaku. Padahal beberapa bulan lalu kami berpapasan, kami saling menyapa seperti biasa.

Aku berbelok ke kiri. Seperti sudah direncanakan, di depan berjalan ke arahku adalah guru ngajiku. Bapak Jenal Muttaqin, aku ingat betul namanya. Aku semakin dekat ke arahnya aku sudah bersiap tersenyum untuk menyapanya. Namun dia malah berbelok ke kiri padahal aku merasa dia melihatku berjalan ke arahnya. Dia berbelok masuk ke rumah salah satu tetangga. Aku mulai penasaran kenapa dengan semua orang di kampungku ini.

Apakah dunia ini telah berubah? Apakah bertegur sapa adalah hal sulit untuk dilakukan sekarang ini? Mereka semua berubah! Atau mereka tak melihatku? Apa aku tak terlihat?

Aku memutuskan akan memastikannya dengan bercermin di kaca gerobak bakso tetangga yang terletak beberapa langkah lagi di depan. Sayang sekali, ternyata gerobak basonya sudah tak berada disitu lagi. Sepertinya krisis ekonomi tak berpihak pada usahanya jualan bakso. Kupikir lagi, bodoh sekali rasanya jika aku harus bercermin di kaca gerobak bakso untuk melihat bayanganku ada atau tidak. Aku tersenyum malu dengan ide bodohku itu.

Rumahku sudah dekat, tinggal beberapa meter lagi. Tamasya singkatku mengelilingi kampung cukup melelahkan namun lebih banyak kesenangannya. Lima belas menit hidupku aku isi dengan kenangan-kenangan indah masa lalu yang tak bisa kubeli di toserba manapun. Agak berat kulangkahkan kaki ini menuju rumahku sendiri. Enggan pulang, inginnya aku terus bertamasya di duniaku yang tak kenal duka, dunia masa kecilku.

Namun tetap saja kuseret kaki ini menuju rumah. Akhirnya teras lantai dua rumahku sudah terlihat, lantai satunya terhalang oleh tembok tinggi rumah tetangga. Beberapa langkah lagi aku tiba. Kembali ke rumah atau tepatnya kembali ke kenyataan hidup, masalah di depan mata.

“Dari mana saja?!”

Seorang tetangga dari arah belakangku bertanya, agak berteriak. Aku menoleh, ternyata Pak Jaja.

“Pulang tamasya, Pak Jaja. Biasa saja dong gak perlu teriak.”

Aku sedikit kesal dengan tetanggaku ini. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba menghardikku begitu saja.

“Gimana sih kamu ini, Sep! Semua orang nunggu dari tadi! Harus cepat diurus ini.”

Sep? Siapa maksudnya?

Aku menengok ke belakang, ke arah pandangan Pak Jaja tertuju. Oh! Pak Jaja ternyata bukan bicara padaku, tapi orang yang ada agak jauh di belakangku, si Asep, anak Pak Jenal guru ngajiku itu. Asep setengah berlari menghampiri orang yang meneriakinya barusan.

Pak Jaja juga berjalan menghampiri Asep. Kenapa semua orang begitu panik? Asep pun berusaha mengatur napasnya yang tersengal-sengal untuk mencoba menjawab kekesalan Pak Jaja.

“Maaf Pak Jaja! Tadi kunci mesjidnya lupa naruhnya di mana.”

“Kamu ini! Bapak kamu sudah dikasih tahu? Semuanya sudah siap?”

“Sudah, sudah! Bapak sudah saya beri tahu. Sekarang Bapak lagi ke rumah Pak Endi, pinjam selang. Nah! Itu Bapak bawa selang.”

Aku dan Pak Jaja menoleh ke belakang bersamaan. Pak Jenal berjalan tergesa-gesa ke arah kami.

“Sudah siap kan semuanya?”

“Sudah Pak!” Asep dan Pak Jaja menjawab serentak.

Pak Jenal melihat ke arahku dengan pandangan aneh. Aku tak memperdulikannya dan juga tak menyapanya. Aku masih tersinggung karena diabaikannya tadi saat berpapasan di depan rumah Pak Endi. Mereka bertiga sekarang kompak meninggalkanku begitu saja, pergi ke arah rumahku yang bagian depan. Lalu masuk ke dalam rumah. Mereka masuk ke dalam rumahku?Mau apa mereka?

Aku mengikuti mereka dengan tergesa. Aku lihat di ruang tamu banyak orang berkerumun. Banyak diantaranya yang mengenakan pakaian hitam. Entah kenapa perasaanku tak enak. Dan entah kenapa pikiranku hanya tertuju pada satu orang, bapakku.

Na’udzubillahimindaliq. Dalam hati aku berucap beribu kali. Bapak sudah renta, sudah sering sakit-sakitan. Ketakutanku selama ini adalah jika Allah memutuskan sudah saatnya bagi Bapak beristirahat dari segala lelah deritanya.

Aku takut. Aku tak berani masuk. Aku menunggu cukup lama di luar rumah, tak berani masuk. Orang-orang berbaju hitam makin banyak menghampiri rumahku. Air mataku meleleh. Kenapa harus sekarang ya Allah? Impianku untuk mengajak Bapak saat wisudaku tak bisakah Engkau kabulkan?

Astagfirullah. Aku beristigfar sebanyak aku bisa karena tak selayaknya aku meragukan kemampuan Dia Sang Maha Kuasa. Cukup! Aku membentak diriku sendiri. Aku akan masuk ke dalam rumah.

Di depan pintu ruang tamu aku melihat sosok kaku, terbujur mati di depan mataku. Aku tak tahan lagi menahan tangis. Semua mata pelayat tertuju pada mayat bisu di tengah ruang tamu. Tak sedikit di antara mereka yang menunduk terisak.

Aku berjalan lemas mendekati jenazah bapakku. Semua orang tak ada yang menegur atau sekedar menepuk-nepuk pundakku sebagai tanda empati. Semua sibuk dengan kesedihan masing-masing. Aku teringat ibuku. Sekarang Bapak sudah kembali bertemu dengan kekasih sejatinya, pikirku. Aku duduk di sebelah jenazah Bapak. Tak sanggup aku menyibak kain penutup wajahnya.

Seorang lagi pelayat datang histeris. Ternyata bibiku, adik dari Bapak. Dia menghampiri Bapak lalu duduk lama menunduk, mencoba menghentikan tangisnya. Dia tak melihatku atau entah bagaimana, tapi aku mulai merasa aneh dengan seluruh penghuni ruang tamu ini. Apa kalian tak memperdulikanku?!

Akhirnya dia gerakkan tangannya, menyibak penutup wajah yang enggan kubuka tadi perlahan. Aku menunduk tak mau melihat.

“Rizal! Rizal!” Bibiku meraung memanggil namaku.

Aku mengangkat kepalaku ingin menjawab panggilan bibiku. Namun tak ada daya untuk mengucapkan sepatah kata, setelah kulihat wajah jenazah di hadapanku ini. Wajahku sendiri.

Apa ini? Apa maksud semua ini? Tuhan mempermainkanku? Aku harus segera bangun dari mimpi ini. Aku tak suka mimpi seperti ini.

Aku coba menarik diriku dari alam mimpi dengan memejamkan mata sekuat tenaga sambil memerintahkan otakku untuk membangunkan ragaku.

Bangun! Bangun! Bangun! Bangun!

Kubuka mataku. Tak ada foto yang biasa kulihat di depanku, jika aku bangun tidur. Foto yang kupasang di dinding, tepat di hadapan ranjangku. Fotoku dan kedua orang tuaku. Alih-alih foto itu, wajah pucat pasi yang kulihat dihadapanku. Wajah jenazahku.

“Rizal! Rizal!” Bibiku meraung semakin keras.

Seorang pelayat menenangkannya dan menyeretnya mundur dari jasadku.

“Dimana Kang Ipul?” Sekarang Bibi menanyakan keberadaan bapakku.

“Di kamar. Dari tadi tak sadarkan diri. Bi Nana yang menjaga.”

Pantas tak kulihat dimana Bapak. Orang yang kukira sudah tak ada sekarang tak jauh beda keadaannya denganku. Sedang tak sadarkan diri, bedanya aku tak akan pernah sadar kembali.

Aku melihat wajahku kembali. Entah mengapa aku merasa melihat wajah penuh kedamaian. Kedamaian yang kurasakan terakhir kali sebelum aku mati. Aku teringat tamasya singkatku berkeliling kampung beberapa saat tadi. Andai saja gerobak bakso itu ada. Setidaknya aku akan tahu lebih cepat. Lucu. Aku tersenyum menertawakan diriku sendiri.

Kini aku tahu. Tak ada yang berubah. Mereka tak berubah. Akulah yang berubah.

Tamasya sebelum pulang

Aku berjalan menyusuri gang panjang dan berliku dari rumah tuaku menuju jalan raya, hendak menemui seseorang dari masa lalu. Sebenarnya bukan hendak menemui tapi hanya sekedar lewat depan toko keluarganya yang di pinggir jalan raya untuk melihat dia sedang menjaga toko atau tidak. Namun orang yang dimaksud tak ada di tempat rupanya. Kecewa aku tak melihat wajah pujaan hati. Padahal liburan sudah hampir usai. Sepertinya aku tak akan lihat wajahnya lagi untuk beberapa bulan ke depan. Kuliah padat menantiku di Bogor. Jadi aku meneruskan jalanku. Berhenti sejenak, berpikir mau kemana aku sekarang. Kulihat ke belakang ke jalan menuju stasiun kereta. Stasiun satu-satunya yang masih beroperasi di kota asalku ini, Stasiun Leles.

Di sepanjang jalan aku melihat kiri kanan. Tak banyak berubah. Masih ada tukang cukur yang dulu pernah beberapa kali kupotong rambut di sana. Masih ada toko yang sering kubeli arang di situ. Aku ingat ibu gendut yang menjaga toko, tapi tak kulihat dia hari ini. Kulangkahkan kakiku terus ke depan. Beberapa meter di depanku stasiun yang kutuju. Tepat di sebelah kananku sekarang adalah kantor pos tua. Aku ingat beberapa kali aku pernah mengirim surat dan menabung juga di kantor pos ini.

Aku tak jadi masuk stasiun. Gerbang belakang dikunci dan malas juga masuk lewat gerbang depan karena ramai anak-anak bermain di situ. Rupanya ada yang berubah. Sekarang sudah ada tempat penumpang menunggu kereta yang dibuat dari semen yang tingginya disesuaikan dengan tinggi pintu kereta sehingga orang tak perlu bersusah payah jika ingin naik kereta. Aku ingat betapa susahnya dulu jika ingin menaiki kereta. Butuh orang lain untuk membantu naik.

Tak jadi ke stasiun, aku belokan saja diriku ke arah rel kereta. Sudah lama sekali aku tak berjalan di atas batu-batu koral rel kereta api. Hujan baru reda jadi jalanan agak becek ditambah lagi sandal capit tipisku yang membuat air genangan merembes dan membuat batu koralnya terasa sekali ditelapak kaki bahkan sedikit agak sakit. Namun rasa sakitnya terbayar oleh kenangan masa kecil yang kembali memenuhi kepalaku. Ternyata perjalanan tanpa rencana memang lebih menarik dan berkesan.

Stasiun dan rel kereta api merupakan salah satu tempat bermain favoritku dulu waktu kecil. Bermain perosotan di dekat stasiun atau menangkap capung yang menempel di kawat baja di samping rel kereta. Capung ditangkap dengan cara dijepit menggunakan kawat baja, sebelah kiri atau kanan kawat baja yang dihinggapi capung. Aku cukup ahli melakukannya.

Pandanganku dimanjakan oleh hamparan sawah hijau membentang luas di sebelah kiriku. Gunung menjulang tinggi di kejauhan. Sejauh mata memandang semuanya hijau. Kuhirup udara sore sebanyak yang aku bisa. Udaranya bersih dan segar. Rasanya tak ingin kembali ke kota dimana udara bersih sangat langka dan warna hijau seringnya hanya didapat dari warna angkot (angkutan umum) nomor 02 atau 03.

Aku berjalan pelan-pelan karena tak ingin cepat sampai di gapura pintu masuk kampungku RT 03 yang tinggal beberapa meter di depan. Nampak di depanku sekarang adalah beberapa pemuda dari kampungku yang sedang memancing belut di sawah entah punya siapa. Ada seorang yang bermain gitar di undakan semen di sebelah sawah. Setelah kuamati ternyata dia tetanggaku yang seumuran denganku. Karena tak begitu akrab, jadi aku tetap berdiri jauh dari mereka sambil terus menonton pertunjukan. Aku jadi ingat bahwa seumur hidup aku belum pernah memancing belut. Aku juga tak pernah berniat melakukannya.

Sudah cukup lama aku mengamati mereka. Beberapa orang melihat kepadaku namun tak ada yang menyapa. Aku memang tak akrab dengan orang-orang ini walaupun aku tahu nama mereka satu per satu. Rasanya sudah cukup tamasyaku mengenang masa kecil. Aku berjalan menuju gapura.

Di depanku ada seorang gadis yang sepertinya kukenal. Dia berjalan ke arahku, semakin mendekat. Tentu saja, dia teman SMP-ku dan teman mengajiku dulu. Aku tahu dia melihat kepadaku namun dia langsung menoleh ke arah lain, mengamati sesuatu yang kutahu itu tak ada. Sambil berjalan aku melihatnya terus namun dia tetap melihat ke arah lain. Dia memang tak ingin atau mungkin sedang malas menyapaku. Padahal beberapa bulan lalu kami berpapasan, kami saling menyapa seperti biasa.

Aku berbelok ke kiri. Seperti sudah direncanakan, di depan berjalan ke arahku adalah guru ngajiku. Bapak Jenal Muttaqin, aku ingat betul namanya. Aku semakin dekat ke arahnya aku sudah bersiap tersenyum untuk menyapanya. Namun dia malah berbelok ke kiri padahal aku merasa dia melihatku berjalan ke arahnya. Dia berbelok masuk ke rumah salah satu tetangga. Aku mulai penasaran kenapa dengan semua orang di kampungku ini.

Apakah dunia ini telah berubah? Apakah bertegur sapa adalah hal sulit untuk dilakukan sekarang ini? Mereka semua berubah! Atau mereka tak melihatku? Apa aku tak terlihat?

Aku memutuskan akan memastikannya dengan bercermin di kaca gerobak bakso tetangga yang terletak beberapa langkah lagi di depan. Sayang sekali, ternyata gerobak basonya sudah tak berada disitu lagi. Sepertinya krisis ekonomi tak berpihak pada usahanya jualan bakso. Kupikir lagi, bodoh sekali rasanya jika aku harus bercermin di kaca gerobak bakso untuk melihat bayanganku ada atau tidak. Aku tersenyum malu dengan ide bodohku itu.

Rumahku sudah dekat, tinggal beberapa meter lagi. Tamasya singkatku mengelilingi kampung cukup melelahkan namun lebih banyak kesenangannya. Lima belas menit hidupku aku isi dengan kenangan-kenangan indah masa lalu yang tak bisa kubeli di toserba manapun. Agak berat kulangkahkan kaki ini menuju rumahku sendiri. Enggan pulang, inginnya aku terus bertamasya di duniaku yang tak kenal duka, dunia masa kecilku.

Namun tetap saja kuseret kaki ini menuju rumah. Akhirnya teras lantai dua rumahku sudah terlihat, lantai satunya terhalang oleh tembok tinggi rumah tetangga. Beberapa langkah lagi aku tiba. Kembali ke rumah atau tepatnya kembali ke kenyataan hidup, masalah di depan mata.

“Dari mana saja?!”

Seorang tetangga dari arah belakangku bertanya, agak berteriak. Aku menoleh, ternyata Pak Jaja.

“Pulang tamasya, Pak Jaja. Biasa saja dong gak perlu teriak.”

Aku sedikit kesal dengan tetanggaku ini. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba menghardikku begitu saja.

“Gimana sih kamu ini, Sep! Semua orang nunggu dari tadi! Harus cepat diurus ini.”

Sep? Siapa maksudnya?

Aku menengok ke belakang, ke arah pandangan Pak Jaja tertuju. Oh! Pak Jaja ternyata bukan bicara padaku, tapi orang yang ada agak jauh di belakangku, si Asep, anak Pak Jenal guru ngajiku itu. Asep setengah berlari menghampiri orang yang meneriakinya barusan.

Pak Jaja juga berjalan menghampiri Asep. Kenapa semua orang begitu panik? Asep pun berusaha mengatur napasnya yang tersengal-sengal untuk mencoba menjawab kekesalan Pak Jaja.

“Maaf Pak Jaja! Tadi kunci mesjidnya lupa naruhnya di mana.”

“Kamu ini! Bapak kamu sudah dikasih tahu? Semuanya sudah siap?”

“Sudah, sudah! Bapak sudah saya beri tahu. Sekarang Bapak lagi ke rumah Pak Endi, pinjam selang. Nah! Itu Bapak bawa selang.”

Aku dan Pak Jaja menoleh ke belakang bersamaan. Pak Jenal berjalan tergesa-gesa ke arah kami.

“Sudah siap kan semuanya?”

“Sudah Pak!” Asep dan Pak Jaja menjawab serentak.

Pak Jenal melihat ke arahku dengan pandangan aneh. Aku tak memperdulikannya dan juga tak menyapanya. Aku masih tersinggung karena diabaikannya tadi saat berpapasan di depan rumah Pak Endi. Mereka bertiga sekarang kompak meninggalkanku begitu saja, pergi ke arah rumahku yang bagian depan. Lalu masuk ke dalam rumah. Mereka masuk ke dalam rumahku?Mau apa mereka?

Aku mengikuti mereka dengan tergesa. Aku lihat di ruang tamu banyak orang berkerumun. Banyak diantaranya yang mengenakan pakaian hitam. Entah kenapa perasaanku tak enak. Dan entah kenapa pikiranku hanya tertuju pada satu orang, bapakku.

Na’udzubillahimindaliq. Dalam hati aku berucap beribu kali. Bapak sudah renta, sudah sering sakit-sakitan. Ketakutanku selama ini adalah jika Allah memutuskan sudah saatnya bagi Bapak beristirahat dari segala lelah deritanya.

Aku takut. Aku tak berani masuk. Aku menunggu cukup lama di luar rumah, tak berani masuk. Orang-orang berbaju hitam makin banyak menghampiri rumahku. Air mataku meleleh. Kenapa harus sekarang ya Allah? Impianku untuk mengajak Bapak saat wisudaku tak bisakah Engkau kabulkan?

Astagfirullah. Aku beristigfar sebanyak aku bisa karena tak selayaknya aku meragukan kemampuan Dia Sang Maha Kuasa. Cukup! Aku membentak diriku sendiri. Aku akan masuk ke dalam rumah.

Di depan pintu ruang tamu aku melihat sosok kaku, terbujur mati di depan mataku. Aku tak tahan lagi menahan tangis. Semua mata pelayat tertuju pada mayat bisu di tengah ruang tamu. Tak sedikit di antara mereka yang menunduk terisak.

Aku berjalan lemas mendekati jenazah bapakku. Semua orang tak ada yang menegur atau sekedar menepuk-nepuk pundakku sebagai tanda empati. Semua sibuk dengan kesedihan masing-masing. Aku teringat ibuku. Sekarang Bapak sudah kembali bertemu dengan kekasih sejatinya, pikirku. Aku duduk di sebelah jenazah Bapak. Tak sanggup aku menyibak kain penutup wajahnya.

Seorang lagi pelayat datang histeris. Ternyata bibiku, adik dari Bapak. Dia menghampiri Bapak lalu duduk lama menunduk, mencoba menghentikan tangisnya. Dia tak melihatku atau entah bagaimana, tapi aku mulai merasa aneh dengan seluruh penghuni ruang tamu ini. Apa kalian tak memperdulikanku?!

Akhirnya dia gerakkan tangannya, menyibak penutup wajah yang enggan kubuka tadi perlahan. Aku menunduk tak mau melihat.

“Rizal! Rizal!” Bibiku meraung memanggil namaku.

Aku mengangkat kepalaku ingin menjawab panggilan bibiku. Namun tak ada daya untuk mengucapkan sepatah kata, setelah kulihat wajah jenazah di hadapanku ini. Wajahku sendiri.

Apa ini? Apa maksud semua ini? Tuhan mempermainkanku? Aku harus segera bangun dari mimpi ini. Aku tak suka mimpi seperti ini.

Aku coba menarik diriku dari alam mimpi dengan memejamkan mata sekuat tenaga sambil memerintahkan otakku untuk membangunkan ragaku.

Bangun! Bangun! Bangun! Bangun!

Kubuka mataku. Tak ada foto yang biasa kulihat di depanku, jika aku bangun tidur. Foto yang kupasang di dinding, tepat di hadapan ranjangku. Fotoku dan kedua orang tuaku. Alih-alih foto itu, wajah pucat pasi yang kulihat dihadapanku. Wajah jenazahku.

“Rizal! Rizal!” Bibiku meraung semakin keras.

Seorang pelayat menenangkannya dan menyeretnya mundur dari jasadku.

“Dimana Kang Ipul?” Sekarang Bibi menanyakan keberadaan bapakku.

“Di kamar. Dari tadi tak sadarkan diri. Bi Nana yang menjaga.”

Pantas tak kulihat dimana Bapak. Orang yang kukira sudah tak ada sekarang tak jauh beda keadaannya denganku. Sedang tak sadarkan diri, bedanya aku tak akan pernah sadar kembali.

Aku melihat wajahku kembali. Entah mengapa aku merasa melihat wajah penuh kedamaian. Kedamaian yang kurasakan terakhir kali sebelum aku mati. Aku teringat tamasya singkatku berkeliling kampung beberapa saat tadi. Andai saja gerobak bakso itu ada. Setidaknya aku akan tahu lebih cepat. Lucu. Aku tersenyum menertawakan diriku sendiri.

Kini aku tahu. Tak ada yang berubah. Mereka tak berubah. Akulah yang berubah.

BATIK :D


berhubung besok tanggal 2 Oktober 2009, adalah batik's day. jadi gak ada salah nya dong kita nambah ilmu tentang batik itu sendiri sebelum bener-bener resmi di patenkan oleh UNESCO (iya gak sih?) hahaha ini diaa ....

Batik (atau kata Batik) berasal dari bahasa Jawa "amba" yang berarti menulis dan "nitik". Kata batik sendiri meruju pada teknik pembuatan corak - menggunakan canting atau cap - dan pencelupan kain dengan menggunakan bahan perintang warna corak "malam" (wax) yang diaplikasikan di atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna. Dalam bahasa Inggris teknik ini dikenal dengan istilah wax-resist dyeing. Jadi kain batik adalah kain yang memiliki ragam hias atau corak yang dibuat dengan canting dan cap dengan menggunakan malam sebagai bahan perintang warna. Teknik ini hanya bisa diterapkan di atas bahan yang terbuat dari serat alami seperti katun, sutra, wol dan tidak bisa diterapkan di atas kain dengan serat buatan (polyester). Kain yang pembuatan corak dan pewarnaannya tidak menggunakan teknik ini dikenal dengan kain bercorak batik - biasanya dibuat dalam skala industri dengan teknik cetak (print) - bukan kain batik.

Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya "Batik Cap" yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak "Mega Mendung", dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.

Ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing.

Teknik membatik telah dikenal sejak ribuan tahun yang silam. Tidak ada keterangan sejarah yang cukup jelas tentang asal usul batik. Ada yang menduga teknik ini berasal dari bangsa Sumeria, kemudian dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh para pedagang India. Saat ini batik bisa ditemukan di banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka, dan Iran. Selain di Asia, batik juga sangat populer di beberapa negara di benua Afrika. Walaupun demikian, batik yang sangat terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia, terutama dari Jawa.

Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.

Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia ( Jawa ) yang sampai saat ini masih ada. Batik juga pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada waktu itu memakai batik pada Konferensi PBB

Semula batik dibuat di atas bahan dengan warna putih yang terbuat dari kapas yang dinamakan kain mori. Dewasa ini batik juga dibuat di atas bahan lain seperti sutera, poliester, rayon dan bahan sintetis lainnya. Motif batik dibentuk dengan cairan lilin dengan menggunakan alat yang dinamakan canting untuk motif halus, atau kuas untuk motif berukuran besar, sehingga cairan lilin meresap ke dalam serat kain. Kain yang telah dilukis dengan lilin kemudian dicelup dengan warna yang diinginkan, biasanya dimulai dari warna-warna muda. Pencelupan kemudian dilakukan untuk motif lain dengan warna lebih tua atau gelap. Setelah beberapa kali proses pewarnaan, kain yang telah dibatik dicelupkan ke dalam bahan kimia untuk melarutkan lilin.

Adapun jenis batik sendiri meliputi :
Batik tulis adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik menggunakan tangan. Pembuatan batik jenis ini memakan waktu kurang lebih 2-3 bulan.

Batik cap adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik yang dibentuk dengan cap ( biasanya terbuat dari tembaga). Proses pembuatan batik jenis ini membutuhkan waktu kurang lebih 2-3 hari.

The REAL CHAMPION is YOU !!


Dalam kehidupan ini seringkali kita mendapatkan apa yang kita perkirakan tetapi bukan apa yang kita inginkan. Hal yang lazim memang, karena hidup bukanlah garis lurus yang apik dan tanpa lengkungan sedikit pun. Hidup adalah sesuatu hal yang "memaksa" kita untuk menjalani nya, jika di ibaratkan dengan sebuah pegunungan maka hidup memiliki jalan berkelok nan liku-liku sebelum kita mencapai puncak tertinggi yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat (amin, everyone hopes the same thing).

Tetapi roda kehidupan juga kejam, siap melindas siapapun yang lengah. kita tidak selalu berada di atas bahkan beberapa diantara kita lebih sering merasakan "pahit"nya kehidupan. Tetapi tenang saja bagi yang merasa dirinya seperti itu karena ini adalah bagian yang benar-benar menguji kualitas kita sebagai seorang individu. Dimana jika kita dapat beradapatasi dengan baik dan dapat menyadari situasi maka niscaya banyak sekali hikmah yang dapat kita petik dari hal seperti ini. Kiat kiat dalam menjalani hidup ini, antara lain :

(1) Just believe in God
saya yakin masing-masing orang memiliki keyakinan sendiri (agama), tetapi bukan untuk membeda-bedakan agama satu dan yang lainnya karena setiap agama memiliki tujuan /misi yang sama pada akhirnya.
Contoh paling sederhana yang melatih kita untuk memperkuat keimanan kita adalah dalam ulangan (sepele memang tetapi bisa berakibatkan fatal kedepannya) kita harus mengerjakan ulangan semaksimal mungkin sesuai kemampuan dan kepercayaan diri kita karena ini memiliki efek psikologis yang berpengaruh ke depannya. Mengapa? karena jika kita menanyakan jawaban kepada orang lain(mencontek), membuka buku berarti kita tidak percaya akan ada nya Tuhan YME yang selalu mengawasi kita. Disamping itu juga, kita melatih kepercayaan kepada diri kita sendiri "BAHWA SAYA BISA". jika kita membuka buku atau melihat kunci jawaban artinya percuma saja kita belajar dan mengulang materi jika pada praktek nya saja kita tidak mengetahui apapun.

(2) Struggle
Dalam mencapai suatu tujuan, akan lebih terasa manis jika kita menempuh nya dengan kerja keras kita sendiri. Karena sesungguhnya perjuangan untuk mencapai kesuksesan adalah ahl yang benar-benar menguji kemampuan kita (pay attention to the process) . Kita ambil contoh jika kita mendapat nilai tertinggi pada ulangan tetapi sebenarnya itu adalah hasil tidak murni(mencontek) apa kah kita merasa bangga? apakah semua orang di sekitar kita memuji kita? sama sekali tidak. bahkan derajat kita tampak lebih rendah dibanding nilai terendah pun.

(3) Plan
Apapun yang tidak terrencana sebelumnya adalah awal kehancuran (mempertimbangkan beberapa pengalaman pribadi dan orang lain). Mungkin orang bijak berkata " Winner : think and act, Loser :Act and then think". jelas terjadi perbedaan yang kontras antara mereka yang sukses dan yang tidak. ini bisa dijadikan pertimbangan kita dalam melakukan sesuatu.

(4)Make a Goals and Vision
Kita tentu perlu sesuatu untuk memotivasi diri kita sendiri, salah satu cara paling efektif adalah dengan membuat daftar Goals (misi/tujuan) dan Visi. Dalam kehidupan Visi jangka panjang adalah sukses dunia dan akhirat , Visi jangka menengah adalah hal yang kita ingin capai dalam kehidupan, sementara visi jangka pendek adalah Lakukan yang terbaik setiap saat. Salah satu hal yang perlu kita camkan dalam diri kita masing-masing adalah keyakinan diri kita bahwa kita bisa melakukan hal yang dianggap orang lain berat sekalipun karena setiap orang memiliki turning point (titik balik) dan menurut buku yang saya baca (melompat lebih jauh) kekuatan maksimal seseorang adalah di saat-saat genting / kritis contoh nya pada saat kebakaran hebat di India, seorang ibu yang beratnay hanya 60 Kg mampu mengangkat kulkas yang beratnya sama dengan dua kali berat ibu itu. THAT'S REALLY AMAZING!


MAKA PERCAYALAH BAHWA DI MASING-MASING INDIVIDU MEMILIKI SIFAT JUARA YANG TERTANAM DI DALAM DIRI,
yang kita butuhkan adalah menggali potensi diri untuk memunculkan sifat juara sejati itu :))

Life is An Echo

A son and his father were walking in the mountains. Suddenly, his son falls, hurts himself and screams: "AAAhhhhhhhhhhh! !!"

To his surprise, hears the voice repeating, somewhere in the mountain: "AAAhhhhhhhhhhh! !!"

Curious, he yells: "Who are you?"

He receives the answer: "Who are you?"

Angered at the response, he screams: "Coward!"

He receives the answer: "Coward!"

He looks to his father and asks: "What's going on?"

The father smiles and says: "My son, pay attention." And then he screams to the mountain: "I admire you!"

The voice answers: "I admire you!"

Again the man screams: "You are a champion!"

The voice answers: "You are a champion!"

The boy is surprised, but does not understand. Then the father explains: "People call this echo, but really this is life. It gives
you back everything you say or do. Our life is simply a reflection of our actions. If you want more love in the world, create more love in your heart. If you want more competence in your team, improve your competence.

This relationship applies to everything, in all aspect of life; life will give you back everything you have given to it."